Kamis, 29 Mei 2014

Seven Sins Part 1

Siapa yang ingin menjadi pembunuh untuk kepentingan pribadi?, saya rasa tidak akan mungkin ada yang mau menjadi seperti itu. lalu bagaimana jika menjadi pembunuh untuk kepentingan bersama?, diberikan bayaran yang cukup menggiurkan dan peralatan yang cukup untuk menghilangkan nyawa seseorang. Dibilang dosa ya dosa namun ada rasa kebanggaan tersendiri karena membuat orang banyak menjadi tersenyum puas melihat kematian yang ditunggu, walaupun ada perasaan yang menjadikan diri seorang pembunuh seperti dikejar-kejar rasa bersalah.

Saya Moskie, sebenarnya bukan nama asli tetapi saya lebih menyukai menggunakan nama Moskie dibandingkan harus menggunakan nama Asli. Saya berumur 28 tahun dengan tinggi 184 cm dan memiliki hobi mengoleksi tiket bioskop yang pernah saya tonton. Pekerjaan saya saat ini sebagai pegawai kantoran yang setiap harinya menatap komputer dengan penuh konsentrasi hingga mata merah dan berair, beruntung saya tidak pernah mendapati masalah dengan mata sehingga tidak pernah menggunakan kacamata untuk memperjelas penglihatan. Rasanya kehidupan saya hanya seperti itu-itu saja, berangkat kerja pagi-pagi bersama para masyarakat kantoran lainnya dibilangan jakarta dan pulang bersama para pegawai yang menggerutu tentang kemacetan Jakarta, belum lagi kejahatan yang semakin marak hingga menjadi hal biasa.

Entah negara Indonesia akan menjadi seperti apa?, pegawai biasa tetap menjadi pegawai sedangkan gembel tetaplah gembel namun para penguasa akan semakin makmur menggilas para kaum miskin dan calon kaum miskin demi kepuasan semata. Saya hanya bisa merenung sambil menikmati perjalanan pulang menaiki Trans Jakarta menuju Casablanca, entah sampai kapan saya harus seperti ini tanpa kemajuan namun perlahan tapi pasti berada dalam kemunduran. Setiap hari pulang pada jam dimana para masyarakat umum sudah terlelap dalam mimpi, saya sendiri baru sampai didepan pintu rumah sederhana dengan sebuah sepeda motor bebek terparkir cantik menanti saya pulang setiap hari. Tetapi malam ini rasanya berbeda dari biasanya, keset hitam yang terdapat tulisan “Selamat Datang” terdapat sebuah surat tebal berwarna hitam mengkilap, entah apa isi suratnya dan memang membuat saya langsung penasaran.

Sambil duduk di sofa menikmati alunan musik klasik tahun 70an dari komputerku, saya membuka surat tersebut yang susah sekali dibuka dan harus menggunakan pisau. Didalam kartu tersebut hanya ada sim card salah satu provider selular terlama di Indonesia dan sebuah kertas kecil bertuliskan petunjuk bahwa saya harus memasukan simcard tersebut ke telepon genggam, lalu menghubungi nomer dibalik amplop surat tersebut. siapa pula yang memberikan saya amplop yang seperti ini? hanya ada nomor telepon yang harus dihubungi melalui sim card tersebut, tanpa nama dan tanpa identitas apapun. Saya mencoba menghubungi nomor telepon tersebut dengan nomor telepon yang saya punya tanpa harus menggantinya terlebih dahulu namun hasilnya tulalit tidak dapat dihubungi. Lalu saya melepaskan sim card telepon genggam dan memasukkan simcard yang terdapat pada amplop surat tersebut, saya iseng untuk mengecek pulsa sim card tersebut namun tidak dapat dihubungi, aneh... apa untuk mengecek pulsa sudah tidak menggunakan nomor tersebut?, padahal sinyal telepon sangat kuat dan penuh. Didaftar kontak hanya ada nomor telepon yang sama dengan yang ada di balik amplop tersebut, sepertinya memang saya harus menghubungi nomor tersebut.
Aneh, nomor telepon tersebut tersambung secara normal padahal ketika saya menggunakan nomor telepon yang bukan dari sim card ini tidak ada nada-nada tersambungnya alias tulalit. Sepertinya nomor telepon yang ada di balik amplop surat tersebut sudah di atur hanya bisa dihubungi oleh nomor dari simcard ini saja 5 kali nada sambungan langsung ada suara seorang pria berumur sekitar 50tahunan dengan logat agak kemedan-medanan “ya selamat malam tuan ?”